Menterjemahkan Pesan dari Tour Sydney Dance Company

Seringkali orang melakukan kegiatan bernyanyi, menari atau minum sebagai sarana relaksasi. Tapi sebagian yang lain mempunyai alasan lebih dari itu. Freedom! Dengan menari seseorang bisa menggerakkan badan lebih leluasa. Dengan demikian, biarpun sesaat, pikiran akan terbebas dari beban dan tekanan.

Jawaban di atas hanya secuil dari opening pertunjukan berjudul L’Chaim karya Gideon Obarzanek yang dipentaskan bersama 2 karya lainnya oleh Sydney Dance Company di Canberra Theatre Centre pada tanggal 9 April 2014. Secara keseluruhan, proyek yang diberi nama Interplay ini menampilkan 3 repertoir tari kontemporer dari 3 sutradara yang berbeda. Pertunjukan pertama lebih mengedepankan unsur klasik dengan gerakan ballet dan diiringi musik-musik karya JS Bach. Bagian kedua yang mengambil tema alter ego terasa lebih bersemangat dengan musik menghentak dan efek lampu yang dinamis. Sebagian penonton menilai apa yang ditampilkan bak film The Matrix yang aktornya bergerak gesit menghindari sinar laser dan peluru-peluru. Yang terakhir, walaupun awalnya terkesan kocak karena semua penari tampil dengan baju warna-warni dan bergerak tak beraturan, sejatinya mempunyai maksud yang sangat dalam. Sangat mendasar, sangat filosofis!

Tidak hanya dalam menari, seringkali kita lupa untuk mengetahui maksud dan tujuan dari setiap gerakan atau kegiatan yang kita lakukan. Obarzanek mencoba menampilkan realitas lewat gerakan masing-masing penari yang awalnya tidak beraturan kemudian membentuk pola tertentu dengan cara imitating dan juga mirroring. Suatu ketika semua penari melakukan gerakan yang sama dengan penari lainnya tanpa jelas siapa yang memulainya. Nun, dalam bagian yang lain, semua penari terpecah menjadi dua kelompok yang melakukan gerakan refleksi ala bayangan dalam cermin. Semua ini jelas kiranya menggambarkan realitas L’Chaim, yang dalam bahasa Hebrew berarti kehidupan. Manusia seringkali mengikuti umum tanpa menelaah lebih jauh siapa yang mengawali dan mengapa harus demikian.

Sepanjang pertunjukan yang berdurasi 28 menit ini, ada pertanyaan- pertanyaan yang dilontarkan oleh suara dari balik layar kepada para penari di atas pentas. Dimulai dari pertanyaan tentang mengapa mereka menari, salah satu penari paling muda menjawab bahwa dia sedang menghibur para penonton. Buru-buru suara dari balik layar menanyakan ulang sesuatu yang lebih dari sekedar menghibur. Sang penari muda menjawab, mungkin karena orang tuanya datang melihat. Pada akhirnya dia menyerah, dan mengumpan kepada penari lainnya, ketika tiba pertanyaan tentang sesungguhnya apa yang dia inginkan. What do you want?

Dialog berikutnya menjawab bahwa yang diinginkan adalah joy and freedom. Keceriaan dan kemerdekaan, yang lazimnya juga diinginkan oleh semua orang. Menari, menyanyi atau minum diibaratkan bisa memerdekakan tubuh dan pikiran untuk memperoleh keceriaan. Hanya saja, pembebasan diri lewat gerakan tersebut tidak lagi menyenangkan ketika orang lain merespon berbeda terhadap apa yang seorang individu tawarkan. Sebut, salah satu penari pria ingin memegang betis hingga pangkal paha penari wanita. Buru-buru sang penari wanita menjauh dan mengekspresikan raut kekesalan dalam wajahnya.

Apa yang tersirat dalam drama penolakan di atas seolah-olah mewakili pendapat Emile Durkheim tentang social constraint. Bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh individu pada dasarnya dibatasi oleh kesepakatan-kesepakatan sosial dalam bentuk norma, budaya atau agama. Bahkan pendidikan sekalipun pada dasarnya adalah sarana pendisiplinan diri untuk menyesuaikan seseorang terhadap norma yang umumnya berlaku. Dalam garapan tari L’Chaim, Obarzanek mempertanyakan apakah dengan membentuk gerakan yang sama dengan orang lain kemudian ia masih mempunyai kontrol terhadap tubuhnya? Hahaa, sindiran ini tentu tepat mengenai semua yang menyaksikan! Bahwa kuasa terhadap tubuh kita sendiri pun seringkali harus disesuaikan dengan standar ke-umum-an. Kebutuhan terhadap pakaian misalnya, tidak lagi didasarkan kepada iklim atau kondisi tubuh tetapi lebih kepada kondisi sosial, tuntutan pekerjaan, atau karena penilaian orang lain. Tidak terbatas pada pakaian, bukankah sejujurnya banyak tindakan yang kita ambil hanya karena faktor imitating dan mirroring.

Dalam dialog berikutnya, tiba-tiba sang suara dari balik layar menangis karena merasa tidak dikenali. Ada rasa senyap yang menghinggapi apabila hanya di belakang layar. Lonely, demikian yang dia ungkapkan! Dan ini sesungguhnya merupakan akibat dari penolakan yang ia lakukan terhadap ke-umum-an. Lagi-lagi! Sindiran ini tepat mengenai semua yang menyaksikan. Seseorang bisa memutuskan sesuatu yang di luar kebiasaan, tetapi risikonya harus siap untuk sendiri, dianggap aneh dan kesepian.

Pada akhirnya, lazimnya cerita yang berkembang di alam berfikir Barat, sikap sang sutradara tidak bisa lepas dari nilai kebebasan. Ketika individu tidak bisa lagi diterima, dikucilkan dan kesepian, maka berimajinasilah! Tetaplah bermimpi dan berpikir tentang kebahagiaan. You’re lonely but you still have your imagination, and it’s lovely! Dengan kata lain, ia berpesan, bahwa hidup sejatinya adalah harapan.

Leave a comment